Ilmu itu untuk dimengerti, bukan untuk dikompetisikan
Yup, dari judulnya kalian pasti bisa nebak kalau tulisan
kali ini bakal membahas tentang ilmu. Apa sih ilmu itu? Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Ilmu merupakan pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun
secara bersistem menurut metode tertentu, yang dapat digunakan untuk
menerangkan gejala tertentu di bidang itu. Saat ini aku masih menjadi seorang
mahasiswa yang mendalami bidang ilmu Mikrobiologi.
Aku juga pernah menjadi siswa yang sering kali disebut juga sebagai “penuntut
ilmu”. Padahal menurutku, bukan hanya siswa yang layak disebut sebagai penuntut
ilmu. Semua manusia yang ada di muka bumi ini adalah seorang penuntut ilmu
karena ilmu bisa diperoleh dari mana saja, bukan hanya dari sekolah formal.
Tapi, kali ini aku ingin membahas perihal “menuntut ilmu” oleh siswa sekolah.
Pembahasan kali ini akan berkaca melalui pengalamanku
sendiri saat masih menjadi seorang siswa dulu. Aku ingin menceritakan kesalahan
persepsiku tentang ilmu dan caraku menuntut ilmu saat masih sekolah. Waktu SD
dulu aku adalah seorang anak yang prestasi akademisnya tergolong biasa saja.
Nggak terlalu mengecewakan, dan nggak juga terlalu membanggakan. Saat itu aku
memang masih selalu masuk 10 besar, tapi tidak jarang juga aku mendapat
nilai-nilai jelek saat ulangan. Semua itu karena semangat belajarku waktu SD
masih terlalu kecil dan aku merasa tidak punya motivasi apapun untuk belajar.
Bisa selalu masuk 10 besar sepertinya hanya sebuah keberuntungan bagiku.
Setelah melewati masa SD yang biasa-biasa saja itu, akhirnya
aku bisa masuk ke salah satu SMP yang terbilang favorit di daerahku. Aku
awalnya masih sangat nggak menyangka bisa masuk di sekolah itu karena saat tes
seleksi masuk SMP itu aku masih malas-malasan untuk belajar dan sedang dalam
kondisi sakit. Lagi-lagi ini adalah salah satu keberuntungan dan anugerah yang
diberikan oleh Tuhan untukku. Ternyata belum sampai situ saja, Tuhan masih
memberikan kemudahan lagi untuk pendidikanku karena aku lolos seleksi untuk
menjadi siswa kelas akselerasi di sekolahku. Tes seleksi kelas akselerasi ini
diikuti oleh seluruh siswa baru di SMP-ku saat itu. Awalnya aku sama sekali
tidak tertarik bahkan takut untuk masuk ke kelas akselerasi ini karena aku
merasa tidak mampu dan aku hanyalah anak dengan prestasi akademis yang
biasa-biasa saja. Tetapi, orangtuaku sangat bahagia dengan kabar ini dan
jadilah aku salah satu dari 18 siswa akselerasi di SMP-ku saat itu. Dari
sinilah kesalahan persepsiku tentang ilmu berawal.
Masuk ke kelas akselerasi membuatku memiliki pikiran bahwa
sudah pastinya semua temanku di kelas adalah anak-anak yang luar biasa pintar.
Aku menjadi takut karena saat SD saja di kelas reguler aku berhasil masuk 10
besar hanya karena keberuntungan, bagaimana sekarang saat semua temanku di
kelas adalah anak-anak yang cerdas? Jangan-jangan aku malah akan menjadi yang
terbawah. Pikiran-pikiran itu membuat jiwa kompetitifku mulai tumbuh dan
sebagai seorang anak kelas 7 SMP, aku belum mengerti bagaimana mengendalikan
jiwa kompetitif itu. Akhirnya, aku mulai rajin belajar agar tidak menjadi yang
terbawah di kelas. Benar saja, selama 2 tahun menuntut ilmu di SMP aku berhasil
selalu masuk 3 besar di kelas. Lagi-lagi Tuhan memudahkan jalanku dalam
pendidikan akademis. Saat itu aku memang senang, tetapi bertahun-tahun kemudian
aku baru menyadari kalau ada sesuatu yang salah.
Jujur saja dengan selalu masuk menjadi 3 besar di kelas
membuatku mulai memiliki rasa sombong dan menganggap diriku sudah cukup pintar.
Padahal ternyata salah. Saat kelulusan SMP aku mendapatkan nilai ujian nasional
yang tidak cukup untukku bisa lolos di salah satu SMA favorit di Bali yang
sudah kuimpikan selama ini. Aku akhirnya merasakan sebuah kegagalan. Akhirnya
aku masuk di salah satu SMA yang bisa dibilang cukup favorit juga di daerahku.
Saat SMA, jiwa kompetitif dan tidak ingin terkalahkan oleh orang lain justru
semakin besar dalam diriku. Kenapa? Karena aku berpikir bahwa aku adalah
lulusan kelas akselerasi dan aku tidak mau dikalahkan oleh siswa lulusan kelas
reguler. Pikiran yang salah memang. Untuk teman-teman SMAku dan semua yang baca
ini aku mohon maaf, aku nggak bermaksud merendahkan siapapun atau apa dan sekarang
aku sudah sadar. Hal ini emang harus aku tulis karena akan berkaitan dengan
pembahasan kita tentang ilmu. Lanjut lagi, selama SMA juga aku berusaha belajar
keras untuk bisa bersaing dan menjadi yang terbaik di kelas. Ya aku akui,
ternyata memang banyak yang lebih pintar dariku, tetapi saat itu aku lega
karena selalu berhasil masuk 3 besar di kelas.
Kesalahan persepsiku tentang ilmu sejak SMP membuatku
belajar hanya untuk bersaing dan menjadi seseorang yang tidak terkalahkan di
bidang akademis. Aku memang belajar, tapi aku tidak mengerti apa esensi
sesungguhnya dari belajar itu. Aku menjadi seorang pembelajar yang hanya
menghafal, tetapi tidak benar-benar memahami apa yang ku pelajari. Mungkin juga
aku mengerti, tetapi tidak sampai tingkatan yang benar-benar mengerti. Semua
ini karena kembali lagi ke kesalahan persepsiku, aku masih menganggap semuanya
adalah kompetisi dan aku menuntut ilmu agar dapat berkompetisi. Suatu kesalahan
besar yang untungnya aku sadari di hari-hari berikutnya.
Masa-masa kelas 12 SMA bisa dibilang adalah masa yang mulai
menyadarkanku tentang kesalahan persepsiku tentang ilmu. Seperti biasa, anak
kelas 12 akan mulai bingung dan khawatir tentang melanjutkan pendidikan ke
perguruan tinggi. Aku pun merasakannya. Sejak kelas 11 aku sudah memiliki
keinginan untuk melanjutkan pendidikanku ke mikrobiologi UGM, namun aku masih
selalu ragu. Keraguan ini karena aku merasa mimpiku untuk bisa kuliah di UGM
adalah mimpi yang ketinggian karena
jelas saja akan banyak sekali siswa yang bersaing untuk bisa kuliah di sana. Aku
banyak mendengar petuah-petuah dan cerita dari pengalaman orang lain bahwa
jalur SNMPTN sama sekali tidak bisa diandalkan sepenuhnya karena tidak ada
siapapun yang tahu sistem penilaian dalam SNMPTN kecuali Tuhan dan panitianya.
Akhirnya aku bertekad untuk berjuang mati-matian melalui SBMPTN walaupun memang
tetap mengharapkan hasil SNMPTN.
Mulailah aku menyiapkan diri untuk belajar SBMPTN. Sejak
awal kelas 12 aku memang telah mendaftar bimbel yang telah terpaket dengan
kelas intensif belajar SBMPTN setelah selesainya Ujian Nasional. Semakin hari
aku semakin banyak mendengar bahwa soal-soal SBMPTN itu sangat susah dan
dibutuhkan pemahaman yang sangat dalam untuk bisa menyelesaikannya. Deg! Aku
menjadi semakin takut karena selama ini aku tidak pernah benar-benar belajar
untuk mengerti dan memahami secara menyeluruh. Aku hanya belajar materi
tertentu yang saat itu sedang menjadi pembahasan di kelas, kemudian karena
tidak sampai tingkatan benar-benar paham aku menjadi kesulitan saat mengulang
semua materi itu untuk persiapan SBMPTN. Di saat-saat seperti inilah aku mulai
kenal dengan salah satu platform belajar
online yaitu ZENIUS.
Aku mengetahui salah satu temanku sudah berlangganan voucher Zenius dan mulai belajar
mempersiapkan SBMPTN dengan bantuan Zenius. Menurutnya Zenius benar-benar
efektif untuk belajar dan membuatnya mengerti dan paham (bukan hanya hafal).
Aku yang mulai penasaran pun mencari-cari review
Zenius dan mencoba melihat video-video pembelajaran free dari Zenius. Akhirnya, sejak pertengahan Desember 2016 aku pun
membeli voucher langganan Zenius
selama 6 bulan untuk belajar lebih baik lagi. Belajar dengan Zenius benar-benar
di luar dugaanku. Aku merasa semua yang aku butuhkan ada di sini terutama untuk
persiapan SBMPTN. Salah satu video Zenius yang aku tonton di awal adalah tentang
Self Concept dan Learning How to Learn. Mengingat tujuanku yang ingin tahu bagaimana
cara belajar yang baik, kedua judul ini langsung menarik perhatianku saat itu. Zenius
akhirnya bisa menyadarkanku bahwa mempelajari suatu hal harus sampai ke
akar-akarnya. Kita harus mampu menjawab semua pertanyaan “kok bisa kayak gitu?”
yang ada dalam kepala kita saat mempelajari suatu hal. Aku benar-benar
disadarkan bahwa ilmu itu bukanlah dikejar untuk dikompetisikan, tetapi untuk
dimengerti dan dipahami. Ketika niatmu menuntut ilmu hanya untuk dianggap
pintar oleh orang-orang maka kamu belumlah pintar. Semua ilmu itu belum kamu
miliki ketika kamu tidak benar-benar berusaha untuk memilikinya. Bagaimana
caranya untuk memiliki ilmu itu? Tentu saja dengan mengerti dan memahaminya.
Mempelajarinya sampai benar-benar sudah tidak ada lagi pertanyaan menggantung
dari dirimu sendiri dan juga dari orang lain. Bahkan, dengan video-video Zenius
dan membaca blog Zenius menyadarkanku lebih jauh lagi bahwa tidak ada untungnya
menyimpan ilmu untuk dirimu sendiri. Ilmu yang baik adalah ilmu yang dibagikan
dan bermanfaat untuk banyak orang.
Walaupun pada akhirnya aku tidak jadi mengikuti SBMPTN (karena sekali lagi atas pertolongan Tuhan aku bisa lolos SNMPTN), tapi aku tidak pernah menyesal membeli voucher Zenius saat itu dan tentunya aku tidak menyesal pernah menyiapkan diri dan belajar untuk SBMPTN. Bahkan aku sadar bahwa sebenarnya kita bukan belajar untuk lolos SBMPTN, tetapi kita belajar untuk bisa mengerti dan paham. Dengan berbekal pemahaman itulah yang menyebabkan kita lolos SBMPTN (tentunya dengan takdir Tuhan juga). Hingga saat ini di bangku kuliah, aku selalu berusaha belajar untuk memahami dan mengerti dengan baik terlebih dulu, walaupun memang kadang aku masih terbawa dengan kebiasaan belajar hanya untuk bisa berkompetisi. Tetapi saat ini aku lebih cepat sadar dan kembali berusaha untuk benar-benar mengerti semua yang aku pelajari. Jadi, sekali lagi ilmu itu bukanlah untuk dikompetisikan tetapi untuk dimengerti. Dengan pengertian dan pemahaman maka kita bisa menjadikan ilmu itu bermanfaat. Memiliki jiwa kompetitif tidak sepenuhnya salah, asalkan kita memahami bagaimana menjadikan jiwa kompetitif itu berakhir positif dengan persepsi yang benar.
Aku menulis semua ini sama sekali tidak bermaksud untuk
menyombongkan diri atau apapun, aku hanya ingin berbagi pengalamanku agar
siapapun yang membacanya bisa belajar dari pengalamanku ini. Aku juga sangat
berharap agar pengalamanku ini bisa menjadi bermanfaat untuk orang banyak.
Terimakasih bagi yang sudah mau membaca!
Komentar
Posting Komentar